Sebetulnya ini bukanlah pertama kalinya saya menjamah tempat satu ini, walau ntah sudah kesekian kalinya ada saja cerita menarik di setiap persinggahan yang tercipta antara saya dan puncak paralayang ini. Mungkin sebagian orang akan suka datang ketempat ini dikala malam hari, ya memang tidak salah karena keindahan dari gemerlap kota sangat indah jika dilihat dari titik ini. Apalagi sambil menyeruput pop mie panas, duh nikmat dunia banget.
Eits, tapi bagaimana jika menjamah tempat ini dikala dini hari. YA, dini hari. Membayangkan dinginnya pada malam hari saja sudah membuat bulu di tubuh ini gemetar apalagi saat dini hari. Angan itu akhirnya terlaksana, dengan bersama enam orang kawan perjalanan. Kami bersiap dan berkumpul pukul dua pagi di salah satu kosan yang letaknya di tengah-tengah diantara kami berenam.
Saat masih berada di kota Malang, pagi itu rasanya masih biasa saja tak begitu dingin dan cuaca juga sangat bersahabat. Namun, saat sudah mulai memasuki kota Batu, hawa dingin mulai menggelitik dengan badan mengeluarkan peringatan berupa getaran menggigil pada sekujur tubuh dan mulut tak berhenti bergidik dengan cepat.
Seketika saya baru teringat bahwa ada yang terlupa. Hal yang sangat amat penting apalagi motoran dipagi buta seperti ini, kalian tau apa itu? ya saya lupa memakai sarung tangan. Kalian tau bagaimana sensasinya, BEKU BGT CUI.
Untungnya perjalanan ke puncak paralayang tidak terlalu jauh, kurang lebih 40 menit kami sudah sampai lokasi dan segera mungkin kami langsung bergegas ke mushola untuk menghangatkan badan sebentar. Oiya tiket masuk paralayang itu bisa dibilang middle hight (karena dulu awalnya masuk cuma setengahnya loh), yakni untuk harganya 20 ribu/orang (weekday), 25 ribu/orang (weekend) ditambah ada biaya parkir 5 ribu/motor dan 10 ribu/mobil. Ya lumayan lah.
Lanjut setelah membayar tiket dan memarkirkan motor, selagi langit masih gelap kami langsung naik ke atas (spot panorama) untuk melihat gemerlap cahaya kota.
Tidak seperti yang saya bayangkan ternyata cukup banyak orang yang datang kesini pada dini hari. Suasana malam memang tidak begitu mengejutkan bagi saya, karena sebelumnya saya sudah pernah menjamah tempat ini kala malam hari. Hal yang saya tunggu-tunggu adalah saat sunrise-nya.
Waktu yang ditunggu akhirnya tiba. Perlahan tapi pasti cahaya oranye mulai muncul di tengah gelapnya langit malam. Saya sampai speechless dengan kekaguman yang saya lihat secara langsung di depan mata ini. Kalau bisa diungkapkan dengan sebuah kata, sepertinya tidak ada satupun kata indah yang cocok untuk mewakilkan pemandangan yang saya lihat pagi itu.
Cuaca memang sangat bersahabat, ya walaupun angin dinginnya tidak begitu berkompromi, membuat lukisan langit di pagi hari itu menyihir semua mata setiap yang ada disana. Lautan awan, cahaya oranye, langit gelap yang secara perlahan berubah terang benar benar sangat menakjubkan. Bisa dibilang ini adalah sunrise terbaik yang pernah saya lihat setelah 20 tahun hidup. *plis ini gak lebay tapi beneran indah banget.
Tapi sayangnya sama seperti senja, pemandangan ini tidak bisa berlangsung lama, karena sekitar jam setengah 5 semua sudah terang menderang seperti pukul 7 pagi. Bahkan saat itu saya sedikit shock kok sudah seterang itu. *maklum kebiasan bangun siang hehe.
Akhirnya setelah puas menikmati keindahan sunrise dan juga mendokumentasikan memori (pastinya), sebelum turun kembali ke Malang kami mengisi perut dulu dengan mencari yang hangat-hangat. Apalagi kalau bukan indomie rebus, ya makanan wajib anak kos hahaha. Anget + kenyang kombo banget. Oiya untuk soal harga, jangan tanya pasti lebih mahal ya dari warkop pada umumnya. Disini mie rebus plus telur harganya 12 ribu, tapi ya namanya juga tempat wisata jadi gak usah kaget ya, dan gak papa juga niatkan untuk mendukung UMKM yang ada di disini.
Setelah perut kenyang dan karena saya dan beberapa teman ada kelas pagi, akhirnya kami memutuskan untuk segera kembali ke peradaban kami alias Malang untuk ngampus.
Pesan Saat Berkunjung Ke Paralayang Batu
Eits, saat sampai Malang apakah kalian pikir rasa dinginnya sudah hilang? TIDAK SEMUDAH ITU. Entah ini saya saja tau bagaimana, mungkin kalian ingat kalau saya tidak memakai sarung tangan selama perjalanan motoran ini, kalian mau tau efeknya. Ya seharian tubuh ini menggigil dari ujung kepala sampai ujung kaki dan kedua tangan saya terasa ditusuk jarum, alias mati rasa.
Bahkan di siang harinya yang seharusnya saya merasa kepanasan di bawah terik matahari, lucunya saya malah masih merasa kedinginan. Aduh pembelajaran penting buat selanjutnya, kalau mau ke batu saat malam atau dini hari, wajib banget pake sarung tangan karena kita tidak tahu bagaimana kondisi dalam tubuh kita, bisa beradaptasi dengan cepat atau tidak.
Oiya satu pembelajaran lagi saat kalian mau menjamah tempat ini terutama saat malam hari. Usahakan kalian datang bergerombolan alias tidak sendirian atau berdua saja. Mengapa? karena meminimalisir kalian akan diganggu oleh oknum pengunjung biadab. Kok bisa ngomong kayak gitu? Ya karena aku salah satu korbannya.
Baiklah di samping itu semua pesona paralayang emang paling the best mau itu siang hari, malam hari atau bahkan dini hari. Yakin deh gak ada penyesalan buat dateng kesini. Sejauh ini spot ini masih jadi favorit untuk saya dan teman perjalanan saya untuk sekedar menikmati lampu kota malang sambil menyeruput pop mie dan ngobrol ngalor ngidul.
Next enaknya kemana lagi ya?